Pages

Sabtu, 02 Mei 2015

KI HADJAR DEWANTARA




Halo rekan pembaca sekalian, saya adalah mahasiswa 2A MBP PNB (Politeknik Negeri Bali) jurusan Pariwisata. Di blog ini, saya akan membagi semua pengalaman saya selama menjadi mahasiswa 2A MBP PNB Pariwisata. Nah status saya sebagai mahasiswa 2A MBP PNB Pariwisata tentunya membuat saya harus mempelajari segala hal mengenai dunia kepariwisataan.

Rekan pembaca sekalian, pada postingan sebelumnya dibahas mengenai Hari Pendidikan. Nah pada kesempatan kali ini saya mahasiswa 2A MBP PNB Pariwisata akan memberikan info tentang tokoh pendidikan kita yakni Ki Hadjar Dewantara. Selaku mahasiswa 2A MBP PNB Pariwisata, tentu saya mengagumi sosok beliau karna beliaulah yang berjuang demi pendidikan di Indonesia. Pesan dari mahasiswa 2A MBP PNB Pariwisata ini adalah agar kita meniru semangat beliau yang terus mengabdikan dirinya di dunia pendidikan Indonesia.


Melalui momen Hari Pendidikan Nasional ini, penulis akan memberikan sedikit gambaran mengenai Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Sehingga rekan pembaca sekalian akan lebih mengenal dan mengetahui lagi mengenai sosok Ki Hadjar Dewantara, salah satu pahlawan nasional Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara merupakan salah satu orang yang berjuang dengan jiwa dan raganya, bahkan merelakan gelar kebangsawanannya lenyap untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia juga merupakan salah satu orang yang memang sudah seharusnya dinobatkan sebagai pahlawan karena kontribusinya di bidang pendidikan Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara memberikan suatu pemikiran dan pemahaman kepada bangsa Indonesia tentang sebuah perjuangan menuju kemerdekaan yang diharapkan, sehingga bangsa Indonesia mampu bangkit dan berani merebut, memperjuangkan, serta mempertahankan kemerdekaannya.

Ki Hadjar Dewantara terlahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat pada tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Nama asli Ki Hadjar Dewantara sendiri merupakan gelar kebangsawanan Jawa yang secara otomatis melekat pada seorang laki-laki keturunan ningrat secara silsilah. Gelar ini memberitahukan bahwa Ki Hadjar Dewantara berasal dari keluarga bangsawan.

Ki Hadjar Dewantara atau Suwardi merupakan cucu dari Sri Paku Alam III, sedangkan ayahnya bernama K.P.H. Suryaningrat. Ibunda Ki Hadjar sendiri bernama Raden Ayu.

Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang bangsawan mendapat keistimewaan dari Pemerintah kolonial Belanda untuk mendapatkan sekolah yang lebih baik daripada warga biasa. Kesempatan ini ia jalani dengan sungguh-sungguh, sehingga ia mendapat beasiswa di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dalam riwayat pendidikannya, Ki Hadjar Dewantara bersekolah di STOVIA selama lima tahun. Namun tidak sampai lulus karena sakit dan beasiswanya dicabut.

Setelah keluar dari STOVIA, Ki Hadjar Dewantara muda bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar. Selain bergelut sebagai wartawan di beberapa surat kabar, ia juga aktif dalam organisasi sosial-politik seperti menjadi seksi propaganda Budi Utomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Sehingga ia mendirikan Indesche Partij yang merupakan partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia dan bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Partai tersebut dibuat oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 25 Desember 1912 bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudi) dan dr. Cipto Mangunkusumo. Ketiga tokoh inilah yang kemudian dikenal dan disebut sebagai “Tiga Serangkai”.

Riwayat Ki Hadjar Dewantara yang berkiprah sebagai wartawan di beberapa surat kabar dan sebagai aktivis sosial-politk menjadikan dirinya orang yang kontroversial di mata pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Ia mengkritik lewat tulisannya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda). Pemerintah Belanda yang membaca tulisan dan pamflet tentang tulisan tersebut menganggap ini sebagai sumber pemberontakan terhadap mereka dan pada akhirnya Ki Hadjar Dewantara mendapat hukuman dari pemerintah kolonial.

Akibat dari tulisan Als Ik Eens Nederlander Was, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan kepada Ki Hadjar Dewantara, berupa hukuman internering (hukum buang). Kemudian setelah tahu bahwa Ki Hadjar Dewantara dihukum, kedua rekannya Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo merasa bahwa rekan seperjuangan mereka telah diperlakukan secara tidak adil. Sehingga kedua rekan seperjuangannya tersebut menerbitkan tulisan yang membela Ki Hadjar Dewantara. Tetapi, pihak kolonial menganggap bahwa tulisan tersebut dibuat untuk menghasut agar memberontak. Sehingga Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo juga mendapat hukuman internering.

Awalnya Ki Hadjar Dewantara muda dibuang atau diasingkan ke Pulau Bangka. Sementara Douwes Deker di Kupang dan Cipto Mangunkusumo dibuang ke Pulau Banda. Kemudian ketiga orang ini menghendaki untuk dibuang atau diasingkan ke Negeri Belanda saja. Karena mereka menganggap bahwa di sana mereka bisa mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil. Akhirnya, pemerintah kolonial pun mengabulkan dan mengizinkannya. Sehingga mereka bertiga menjalani hukuman di Negeri Kincir Angin tersebut.

Sebelum berangkat untuk menjalani hukuman di Negeri Kincir Angin, Ki Hadjar Dewantara menikah Raden Ayu Sutartinah Sasraningrat yang kemudian dikenal sebagai Nyi Hadjar Dewantara. Nyi Hadjar Dewantara adalah istri Ki Hadjar Dewantara yang juga memiliki peran penting dalam pergerakan dan perjuangan suaminya. Bahkan pemikiran-pemikiran dan karya-karya Ki Hadjar Dewantara tidak luput dari bantuan dan dukungan sang istri. Sang istri pun ikut tinggal di Belanda bersama Ki Hadjar Dewantara. Selama berada diBelanda, lahir putra dan putri dari Ki Hadjar Dewantara, yaitu Ki Subroto Haryomataram dan Ni Sutapi Asti.

Pada masa pembuangan di Belanda, Ki Hadjar Dewantara atau Suwardi mempergunakan kesempatan tersebut untuk mendalami ilmu tentang pendidikan dan pengajaran. Walau demikian, kehidupan yang dijalani oleh keluarga Ki Hadjar Dewantara cukup memprihatinkan karena mengingat bantuan biaya hidup yang diberikan oleh pemerintah kolonial hanya untuk satu orang. Sehingga Ki Hadjar Dewantara berusaha untuk menghidupi keluarganya sekaligus menabung untuk biaya pulang ke Tanah Air dengan cara hidup sehemat mungkin.

Untuk tetap dapat memenuhi segala kebutuhan dalam masa pengasingan, Ki Hadjar pun harus bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-kanak (Frobel School). Terkadang keprihatinan akan kondisi ekonomi dan kebutuhan pun melanda Ki Hadjar dan keluarga. Namun demikian, ia dan keluarga tetap bisa menjalani masa pembuangan dengan baik. Sehingga pada tahun 1919, Ki Hadjar dan keluarga berhasil mengumpulkan uang untuk kembali ke Indonesia.

Hukuman pengasingan di negeri kolonial menjadi sebuah perjuangan dan cerita dalam keprihatinan hidup seorang Ki Hadjar. Namun hal tersebut tidak membuat ia jera untuk tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Justru di Belanda pula, Ki Hadjar mulai menggagas kemerdekaan Indonesia melalui pembangunan bidang pendidikan nasional. Sehingga ia menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mengugah hasrat nasionalisme serta pikiran tentang pentingnya pendidikan dan pengajaran nasional.

Disinilah awal ketika Ki Hadjar menyebarkan dan mengembangkan pemikirannya tentang pendidikan di Indonesia sehingga saat ini ia dikenang sebagai Bapak Pendidikan Indonesia yang telah meninggalkan atribut-atribut kebangsawanannya untuk berjuang demi bangsa dalam mengembangkan dan memajukan bidang pendidikan dan pengajaran di Indonesia.

Setibanya di Indonesia setelah mengalami pengasingan dan belajar di negeri kolonial Belanda, Ki Hadjar mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan. Ia bersama rekan-rekan seperjuangannya mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, yaitu National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 juli 1922. Perguruan tinggi tersebut memiliki konsep pendidikan yang benar-benar bersifat pribumi, yakni non-pemerintah dan non-Islam. Konsep pendidikan tersebut memadukan gaya Eropa yang modern dan seni-seni Jawa yang tradisional.

Ketika genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Ki Hadjar Dewantara berganti nama dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara. Nama kebangsawanannya ia tinggalkan pada 23 Februari 1928. Nama Ki Hadjar ditemukan dalam rangkaian-rangkaian diskusi yang sering diikutinya. Ia diakui oleh rekan-rekannya sebagai orang yang paling mahir dalam tema pendidikan, keguruan dan kebudayaan. Sehingga, dari diskusi-diskusi yang Ia ikuti, Suwardi memiliki nama lain yakni Ki Ajar dan kemudian menjadi Ki Hadjar yang menggantikan nama bangsawannya pada saat itu.


Pergantian nama tersebut ia maksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat dan seluruh elemen masyarakat, baik secara fisik, pikiran maupun hatinya.

Dengan mengganti namanya, Raden Mas Suwardi Suryaningrat telah membuat pilihan tegas pada dirinya sendiri, untuk membuang dan melepaskan atribut kebangsawannya demi kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia di bidang pendidikan dengan nama baru, yakni Ki Hadjar Dewantara.

Sepanjang perjalanan hidup dan perjuangan Ki Hadjar ketika menjadi aktivis, diasingkan ke Belanda, hingga pulang kembali ke Indonesia, Ki Hadjar melakukannya dengan penuh rasa perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa. Hal tersebut dilakukan dalam mengawal impiannya tentang bangsa Indonesia yang menjadi bangsa yang merdeka dari segala macam bentuk penjajahan.

Dalam usaha untuk mengawal impian mulia tersebut, Ki Hadjar menggunakan bidang pendidikan sebagai media agar bangsa ini dapat menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat. Bagi Ki Hadjar, pendidikan bukanlah tujuan, melainkan media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batin. Karena pendidikan adalah mutu bangsa agar cerdas dan berakhlak mulia tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, status ekonomi dan sosial, yang didasarkan pada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Ki Hadjar Dewantara wafat 26 April 1959. Sepanjang riwayat hidupnya, Ki Hadjar merupakan sosok yang merakyat dan humanis dalam kehidupan bermasyarakat. Ia keras tapi tidak kasar. Ia juga sosok nasionalis sejati yang selalu berorientasi pada kemerdekaan dan kemajuan bangsa.

Demikianlah kisah singkat tentang perjalanan, perjuangan dan pengabdian seorang Ki Hadjar Dewantara yang menentang berbagai bentuk diskriminasi. Sehingga ia dinobatkan menjadi “Bapak Pendidikan” di Indonesia.

Sekian kisah perjuangan Ki Hadjar Dewantara sang Bapak Pendidikan Indonesia. Semoga ini bisa menginspirasi rekan pembaca sekalian khususnya kaum pelajar didalam melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan.

Semoga bermanfaat. Salam hangat dari Bali :) Salam dari mahasiswa 2A MBP PNB Pariwisata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar